Cerpen: Misteri Kematian Asisten Rumah Tanggaku
Ilustrasi Kematian | Foto : Media Cirebon 


Media Cirebon
- "Mamah, Mbak nenti ko belum juga bangun ya? Kok sudah siang kamarnya masih aja ketutup juga?" tanya Dedi, putraku satu-satunya yang baru saja berusia Tiga puluh delapan (38) tahun sambil menarik kursi makan dan menjatuhkan tubuh kurusnya di sana. 

Aku yang sedang menuangkan air teh panas ke dalam gelas, spontan langsung menatap padanya. 

"Emang kamu mau minta tolong apa? Mungkin Nenti nggak enak badan. Malam tadi muntah-muntah soalnya."

"Muntah-muntah? Kenapa, Mah? Sakit? Aku cuma mau minta tolong setrikain kemeja sebentar aja sih, karena mau dipake kerja. Tapi Mbak Nenti nggak mau bangun-bangun juga,"  sahut Dedi yang kembali sembari mengambil piring lalu memasukkan nasi kuning yang barusan kumasak ke atasnya dan mulai menyuap.

"Oh. Mungkin masuk angin kayaknya. Semalam sih udah mamah kerok. Tapi mungkin belum tuntas makanya belum juga sembuh. Kamu udah ketok pintu kamarnya tadi?"

Ilustrasi Makan Dimeja
Ilustrasi Makan Dimeja

"Sudah bolak-balik Mah dari tadi, tapi nggak ada respon juga dari mbak nenti, makanya nanya Ke mamah, kenapa Mbak Nenti ko belum bangun-bangun juga?"

Mendengar jawaban Dedi, aku memicingkan mata. Heran. Tidak biasanya Nenti begini. Apa jangan-jangan asisten rumah tangga kami itu benar-benar sedang sakit ya?

"Apa jangan-jangan pingsan ya, Ded? Iya sih, dari tadi belum juga kedengaran bangun."

Kulirik jam di atas dinding. Pukul 07. 15 WIB. Harusnya Nenti memang sudah bangun lebih awal dan mengerjakan rutinitas seperti biasanya.

Kalau pun hari ini harus istirahat dulu sebab malam tadi, gadis itu pun terlihat tak sehat, tetapi mestinya perempuan itu sudah bangun. Minimal dia mandi atau membuat sarapan untuk dirinya sendiri.

Sebagai majikan, aku memang bukan majikan yang kejam dan tidak punya perasaan hati nurani. Saat sedang sakit, tentu saja aku tak berani membebani Nenti dengan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, karena meski memiliki pembantu, setiap hari aku toh tak pernah lepas tangan membantu pekerjaan Ning juga. Aku maklumi kerja rumah tangga itu memang berat. Oleh karenanya, tak jarang aku ikut turun tangan untuk menyelesaikan pekerjaan rumah supaya Nenti tak kecapekan sendiri dan betah bekerja di rumah ini.

Aku hendak menuju kamar Ning untuk mengecek kondisinya, tetapi urung saat melihat Mas Dudung, suamiku turun dari tangga lantai atas dan langsung menuju ke meja makan sembari memicingkan mata.

"Mah, Nenti mana sih? Tadi Papah suruh untuk menyemir sepatu, kok belum juga selesai-selesai ya?"

"Papa nyuruh nyemir sepatu? Waktu kapan?" Aku bertanya kaget, karena setahuku sedari malam Nenti justru belum juga keluar dari kamar.

"Sebelum shalat Subuh ke masjid tadi. Papah suruh Nenti untuk menyemir sepatu yang Papah beli waktu kemarin. Sudah agak kotor, makanya Papah minta Nenti bersihin. Sekarang Nenti-nya mana?"

Aku mengedikkan bahu. "Itu juga yang Dedi tanyain, dari tadi Nenti dibangunin nggak nyahut-nyahut. Bentar, mama bangunkan lagi coba."

Aku pun beranjak menuju kamar ART kami itu lalu mengetuk dengan keras. Hening. Tak ada sahutan sedikit pun. Sepertinya Nenti memang benar-benar sakit. 

"Nenti! Kamu kenapa? Sakit?" Kugerakan daun pintu lebih keras, bahkan setengah mendobrak, tetapi tetap saja Nenti tak membuka pintunya juga 

"Pah, Nenti nggak nyahutin juga. Kenapa ya?" tanyaku heran.

"Coba Papah lihat deh."

Mas Dudung bangkit dari tempat duduk lalu melangkah ke arahku, menuju kamar Nenti. 

Sama sepertiku, Mas Dudung pun buru-buru menggedor pintu, tapi nihil. Jangankan membuka pintu, menyahut saja tidak. 

Mas Dudung kemudian minta diambilkan kursi pendek untuk melihat ke dalam kamar melalui lubang angin dan tersentak kaget yang pada akhirnya berhasil melihat ke dalam kamar Nenti.

Ilustrasi Mengintip Vetilasi Kamar
Ilustrasi Mengintip Vetilasi Kamar

"Ambilkan linggis Mah di belakang, aku mau mencongkel kunci pintu ini supaya bisa dibuka!"

"Emang Nenti kenapa, Mas?" tanyaku ingin tahu.

"Nenti sepertinya sudah meninggal mah, Mulutnya mengeluarkan busa. Kayanya sih minum racun."

Apa! Aku tersentak kaget sembari mengelus dada yang tiba-tiba hati terasa sangat perih. Nenti bunuh diri? Benarkah? Tapi kenapa? Apa penyebabnya yang membuat nenti seperti ini?

Beribu pertanyaan pun berkecamuk di benak, membuatku setengah limbung saat bergerak mengambil sebuah linggis untuk membuka pintu kamar asisten rumah tangga kami itu.

Jenazah Terbujur Kaku
Ilustrasi Jenazah Terbujur Kaku

Nenti. Seorang gadis berusia dua puluh satu tahun itu tampak sudah terbujur kaku dengan mulut mengeluarkanbusa saat akhirnya Mas Dudung berhasil membuka paksa pintu kamar ART kami itu menggunakan besi panjang atau linggis.

Lelaki yang sudah menjadi suamiku selama empat puluh tahun itu langsung berinisiatif untuk menghubungi polisi setelah berhasil menenangkan diri, karena kematian tidak wajar yang dialami Nenti.

Aku sendiri masih saja merasa tak percaya. Apa yang menyebabkan gadis yang telah bekerja di kediaman kami selama dua tahun tersebut memutuskan untuk menempuh jalan pintas seperti ini untuk mengakhiri hidupnya?

Beban apa yang menyebabkan gadis cantik itu nekat melakukan bunuh diri? Benar-benar tidak bisa kumengerti.

Selama ini sikap dan tingkah laku Nenti biasa-biasa saja. Tak ada satu pun hal yang mencurigakan dan patut dijadikan alasan untuk kami mencurigainya akan melakukan hal nekad seperti ini.

Gadis itu pun tak pernah terlihat sedang memendam masalah hingga aku pribadi tak pernah berpikiran buruk kalau gadis itu akan menempuh jalan yang kurang baik seperti ini untuk mengakhiri beban hidupnya.

Kecuali bahwa pada malam sebelum kematiannya, gadis itu memang mengeluh mual dan perutnya tak enak. Selain itu Nenti hampir tak punya keluhan yang lain.

Lalu kenapa gadis pendiam yang selama ini sudah bekerja di rumah kami dengan baik itu tiba-tiba memutuskan untuk melakukan bunuh diri seperti ini? Tak habis-habisnya aku bertanya pada diri sendiri alasan dan faktor apa yang membuat gadis itu bunuh diri. 

Aku memandangi seorang petugas kepolisian yang sedang menanyai Mas Dudung juga Dedi seputar alasan apa penyebab membuat ART kami itu sejauh ini diduga melakukan bunuh diri dengan sengaja mengkonsumsi obat tidur melebihi dosis yang dianjurkan dokter dan dari mana kira-kira Nenti mendapatkan obat itu yang dijawab suamiku dengan gelengan kepala tidak mengetahuinya

Wajar memang Mas Dudung tidak mengetahuinya karena aku sendiri juga tidak mengerti dari mana Nenti bisa mendapatkan obat tidur itu dan sejak kapan ia mengkonsumsinya? Kapan pula gadis itu membeli obat tidur dan untuk apa? Apakah Nenti bermasalah dengan pola tidurnya hingga ia perlu mengkonsumsi obat-obatan seperti itu?

Setelah menanyai Mas Dudung, sekarang giliran aku yang ditanyai oleh kepolisian. Senada dengan suamiku, pertanyaan polisi pun hanya kujawab dengan gelengan kepala tak tahu pasti karena aku sendiri juga tak habis fikir alasan apa yang membuat Nenti perlu mengkonsumsi obat tidur tersebut.

Selama ini yang kulihat tak ada masalah apapun dengan pola tidur gadis itu. Jam sepuluh malam ia sudah masuk kedalam kamar dan sebelum subuh juga ia sudah bangun.

Nenti itu termasuk gadis yang tidak banyak tingkah dan tidak aneh-aneh. Meski kadang di hari libur, ia suka minta waktu untuk diizinkan keluar rumah sekedar pergi ke mall, tapi tak ada yang patut dicurigai dari sikap gadis itu.

Ilustrasi Evakuasi Jenazah
Ilustrasi Evakuasi Jenazah

Petugas kepolisian pun yang kemudian mengambil ponsel milik Nenti yang memang kuberikan pada gadis itu dulu supaya kami tetap bisa berkomunikasi saat aku sedang berada di luar rumah, dan membawanya berikut tablet obat tidur yang masih tersisa untuk dijadikan sebagai alat bukti guna penyelidikan lebih jauh penyebab atas kematian gadis itu.

Sepeninggal petugas kepolisian, aku melihat kamar Nenti yang sedikit berantakan akibat petugas berusaha untuk mencari barang bukti guna untuk menyimpulkan sebab kematian Nenti yang sesungguhnya.

Mas Dudung dan Dedi tampak duduk berselonjor di lantai dengan raut wajah yang sangat kusut. Sementara kondisiku pun sama tidak jauh lebih baik dari mereka.

Berkali-kali suamiku menghela nafas panjang lalu menghembuskannya dengan rasa gelisah. Sementara Dedi tampak meraup muka dengan ekspresi yang tak jauh beda dengan aku dan Papanya pasti, sama-sama gelisah dan terpukul atas meninggalnya asisten rumah tangga.

Ya, siapa sih yang tidak terpukul? Seorang Asisten Rumah Tangga yang ditemukan meninggal bunuh diri dengan cara minum obat tidur melebihi dosis di rumahnya, siapa yang tidak kacau dan shock melihatnya kejadian ini?

Barusan aku sudah menghubungi kedua orang tua Nenti. Mengabarkan keadaan anaknya yang baru saja meninggal tadi malam di dalam kamarnya. Dan kedua orang tua Nenti pun begitu panik serta mengatakan secepatnya akan datang untuk mengambil jenazah putrinya untuk dikebumikan di kampung halamannya yang berjarak kurang lebih sembilan jam dari kota ini.

Aku pun mengiyakan dan berjanji akan membantu untuk membiayai operasional mobil jenazah yang akan membawa jasad gadis itu usai autopsi nanti jenazah akan dibawa ke kampung halamannya. 

Selain karena rasa tanggung jawab sebagai seorang majikan, aku juga begitu empati terhadap musibah yang menimpa Nenti dan empati terhadap perasaan keluarganya yang ditinggalkan oleh anaknya.

Aku pun hendak membuka mulut, teringat soal ucapan Mas Dudung yang mengatakan jika subuh tadi masih bisa bicara dengan Nenti, dan hendak menanyakan kebenaran perkataan Mas Dudung itu, saat suamiku itu tiba-tiba lebih dulu membuka mulutnya.

"Kata seorang petugas medis rumah sakit yang memeriksa Nenti tadi, kalau dilihat dari kondisi jenazah Nenti ini, diperkirakan dia sudah meninggal lebih dari tujuh jam yang lalu, Mah. Lalu siapa yang Papah lihat sebelum subuh tadi keluar dari kamar Nenti dan mengiyakan saat Papah minta tolong semirkan sepatu? Apa karena bunuh diri, arwah Nenti berubah menjadi gentayangan? Apa Mamah percaya dengan hal-hal mistik dan di luar akal seperti itu?" tanya Mas Dudung dengan raut wajah yang pucat.

Aku tahu suamiku itu bukan tipikal lelaki yang penakut. Tapi mendapati hal di luar dugaan seperti ini bisa jadi psikologis Mas Dudung sedikit terganggu. Dan aku memaklumi hal itu karena saat ini pun perasaanku juga sangat terguncang.

Mendengar ucapan papahnya, sontak Dedi menghambur, memeluk Mas Dudung. Demikian juga dengan aku yang tanpa bicara langsung bersenderan ke tubuh suamiku.

"Papah serius? Nggak bohong kan soal ketemu Nenti sebelum pergi sholat subuh tadi? Apa Papah sudah lihat sepatunya? Beneran udah disemir atau belum?" tanyaku dengan lidah kaku sembari berharap Mas Dudung menggelengkan kepala, mengatakan sepatu itu masih tersimpan di tempatnya dalam keadaan sepatu yang belum disemir.

Namun, alih-alih menjawab begitu, Mas Dudung justru menatap wajahku begitu lama lalu menganggukkan kepalanya. 

"Sudah Papah lihat sepatunya, Mah ... habis disemir. Malah sudah disiapkan Nenti di dekat pintu keluar. Kalau benar Nentu sudah meninggal malam tadi, lalu yang nyemir sepatu Papah dan meletakkan di situ siapa ya?" tanya Mas Dudung lagi dengan suara berbisik.

Mendengar pengakuan suamiku itu, aku makin dilanda rasa takut dan gamang hingga aku merapatkan badan ke tubuh Mas Dudung. Begitu juga dengan Dedi yang kulihat sangat tegang.

"Papah jangan bikin mamah sama Dedi ketakutan dong! Coba dicek lagi, beneran sepatu Papa habis disemir sama Mbak Nenti atau memang dari kemarin nggak terlalu kotor jadi tetap seperti habis disemir, Pa kelihatannya?" Dedi pun berusaha menyangkal perkataan Mas Dudung. Mendengar ucapannya, aku pun menganggukkan kepala tanda setuju dengan perkataan putraku itu.

"Beneran, Mah … Dedi. Untuk apa Papah bohong? Papah nggak mungkin bohong karena sekarang ini kita menghadapi rasa bingung, khawatir dan takut yang sama. Nenti kemungkinan besar sengaja minum obat tidur yang berlebihan hingga over dosis dan meninggal dunia. Pertanyaannya, sejak kapan dia minum obat tidur dan tujuannya untuk apa? Bukannya selama ini nenti tidak pernah punya masalah dengan pola tidurnya? Jam sembilan aja dia sudah tidur, kan? Lalu buat apa dia minum obat lagi? Lagipula, sepatu itu sudah berpindah dari tempat semula. yang awalnya berada di rak sepatu, tapi tadi Papah lihat sudah ada di depan pintu, lengkap dengan kaos kakinya, sama persis seperti biasanya Nenti siapkan sebelum Papah pergi ke kantor," sahut Mas Dudung lagi sembari menatap wajahku dan Dedi bergantian, seolah hendak meyakinkan kami jika yang ia katakan itu bukanlah halusinasi belaka.

Mendapati hal itu, aku pun makin dilanda rasa cemas. Aku tahu Mas Dudung bukan orang yang mempunyai tipikal laki-laki pembohong. 

Dua puluh tiga tahun hidup bersama telah membuatku paham dan hafal sifat dan karakternya. Mas Dudung itu selalu jujur terhadap apa yang ia ucapkan. Ia pun berani mengakui kesalahannya jika memang benar bersalah, begitu pun sebaliknya.

Dan jika saat ini ia mengaku bertemu Nenti sebelum subuh tadi dan meminta gadis itu membersihkan sepatunya, kemungkinan besar itu adalah cerita yang sesungguhnya.

Tapi jika demikian, bukankah itu artinya arwah Nenti belum juga pergi dari rumah ini? Namun, bisakah demikian? Bukankah setiap jiwa yang sudah meninggal akan kembali ke haribaan kepada yang Maha Kuasa untuk mempertanggungjawabkan segala amal dan perbuatannya? 

Lalu bagaimana bisa arwah Nenti ini masih berkeliaran di rumah ini dan untuk apa? Apa karena masih ada rahasia penyebab kematiannya yang belum terungkap? Atau jangan-jangan ... Nenti bunuh diri akibat orang yang ada di rumah ini?

Ya, meskipun rasa pahit ini tapi aku harus mengakui jika kemungkinan hal seperti itu akan selalu ada. Nenti masih muda dan cantik. Laki-laki normal seperti Mas Dudung atau pun Dedi yang usianya mulai beranjak dewasa, pasti akan tertarik dengan dia jika tak punya iman yang kuat.

Tapi benarkah begitu? Rasanya sangat sulit sekali untuk mempercayai hal itu, namun jika tidak ada penyebabnya, mungkinkah Nenti akan bunuh diri dan menampakkan diri seperti ini? Ah, memikirkan semua ini kepalaku semakin pusing dan sakit rasanya.

Semuanya sudah menjadi takdir, Aku hanya berdoa semoga Almarhum nenti diterima disisi Allah s.w.t dan diampuni segala dosa-dosanya.