Pabrik Gula Gondang Winangoen 1860-1942 | Foto : Media Cirebon |
Media Cirebon - Pabrik Gula Gondang Winangoen didirikan pada tahun 1860 oleh perusahaan dagang swasta Klatensche Cultur Maatschapij (KCM) yang berpusat di Amsterdam, Belanda. Pada saat awal berdirinya, yaitu pada tahun 1865, pabrik ini dikelola oleh keluarga Jongkhervan der Wijk. Setelah itu, pengelolaannya dilanjutkan oleh keluarga NV.V Mirandolle Voute yang memiliki kediaman di Semarang.
Lokasi Pabrik Gula Gondang Winangoen terletak di Kawedanan Gondang Winangoen, di sisi barat kota Klaten, tepat di sepanjang jalan yang menghubungkan antara Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Pabrik ini terletak di Distrik Gondang Winangoen Kabupaten Klaten yang merupakan bagian dari wilayah Kasunanan Surakarta (Jateng, 2001). Pada tahun 1871, terjadi peningkatan permintaan gula yang signifikan sehingga luas wilayah perkebunan yang semula hanya 207,2 hektar, diperluas menjadi 852,2 hektar pada tahun 1919.
Selama masa kejayaannya dari tahun 1889 hingga 1929, gula menjadi komoditi ekspor yang menguntungkan bagi pemerintah Hindia Belanda. Pada tahun 1864, pemerintah membangun jalur kereta api yang menghubungkan pedalaman Jawa dengan pelabuhan Tanjung Mas di Semarang untuk mengangkut hasil bumi yang menjadi komoditi ekspor.
Pada tahun 1930, terjadi krisis keuangan di Hindia Belanda yang menyebabkan produksi gula di Pabrik Gula Gondang Winangoen terhenti hingga tahun 1935. Setelah tentara Jepang berhasil menguasai Hindia Belanda pada tahun 1942, 9 pabrik gula dan perkebunan tebu di Klaten (yaitu PG Ceper, PG Wonosari, PG Delanggu PG Jungkare, PG Tulung, PG Manisrenggo, PG Jatinom, dan sebagainya) berhenti beroperasi dan beralih menanam padi dan jarak untuk kebutuhan perang Jepang. Hanya Gondang Winangoen yang masih memproduksi gula dan dia
Sejarah Perjalanan Pabrik Gula Gondang Winangoen
Untuk memenuhi kebutuhan produksinya, manajemen pabrik memutuskan untuk menyewa lahan sawah di desa-desa sekitar pabrik. Lahan-lahan tersebut terletak di daerah Joton, Wonoboyo, Mipitan, Tegal Sari, Tambakan, Karangasem, Gumulan, Gantiwanro, Mojayan, Tegalrejo, Tambakbayan, Karangnongko, dan sebagainya, yang kemudian ditanami tebu. Selain itu, pihak pabrik juga menyewa tanah di daerah Semarang karena harga sewanya yang cukup rendah dan juga karena wilayah tersebut sudah terhubung dengan jaringan kereta api.
Tentunya, Pabrik Gula Gondang Winangoen memerlukan tenaga kerja baik dari tenaga ahli maupun buruh untuk menjalankan produksinya. Mayoritas buruh pabrik berasal dari desa sekitar pabrik, yang terdiri dari buruh petani dan buruh tegalan yang biasa dikoordinir oleh kepala desa. Sedangkan mayoritas tenaga ahli berasal dari orang Belanda dan Eropa.
Pada tahun 1929, terjadi krisis global yang melanda seluruh dunia dan mengakibatkan harga hasil bumi dan upah para pekerja menurun. Di Hindia Belanda, krisis ini berdampak pada anjloknya harga jual komoditi ekspor hasil pertanian akibat lesunya permintaan bahan mentah di pasar global. Dampak krisis ini juga terasa pada produksi Pabrik Gula Gondang Winangoen yang terpaksa menghentikan produksinya selama tahun 1930 hingga 1935.
Pada tahun 1936, Pabrik Gula Gondang Winangoen kembali memulai produksinya. Pada puncaknya, hasil produksi gula pada tahun 1940 mencapai 2.237 Kwintal per Hektar dari luas area lahan seluas 1.164,2 Hektar. Surplus produksi gula ini disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah penerapan sistem tanam tebu yang berasal dari Kuba. Sistem ini menggunakan parit-parit air untuk memudahkan perawatan tebu dan menggunakan bibit tebu unggul serta menerapkan metode tanam lubang sehingga para penanam tebu memperoleh hasil panen yang melimpah.
Krisis Malaise dan Dampaknya pada Masyarakat Klaten
Setelah terkena dampak dari krisis ekonomi, Pabrik Gula Gondang Winangoen terpaksa melakukan pengurangan jumlah tenaga kerja. Sebelum terjadinya Krisis Malaise, jumlah tenaga kerja di pabrik mencapai 57.000 orang. Namun, setelah terjadinya krisis, jumlah tenaga kerja hanya tersisa sekitar 23.000 orang, yang mayoritas merupakan buruh. Jumlah tenaga ahli juga mengalami penurunan dari 27 orang menjadi hanya 11 orang pada tahun 1936 setelah krisis. Selain itu, sekitar 42 orang tenaga administrasi dan pengawas juga dipecat untuk memperbaiki efisiensi pengeluaran pabrik setelah terkena dampak dari Krisis Malaise.
Krisis ekonomi yang terjadi membawa dampak yang paling dirasakan oleh para buruh yang menggantungkan hidupnya sebagai tenaga kerja di sawah-sawah yang ditanami tebu. Selain itu, para pemilik lahan juga mengalami kerugian karena kehilangan salah satu sumber pemasukan dari menyewakan lahan pertanian mereka kepada Pabrik Gula Gondang Winangoen. Akibatnya, mereka terpaksa kembali menjadi petani menanam padi dan palawija seperti sebelum pabrik gula berdiri. Dampak dari krisis ekonomi tersebut juga dirasakan oleh masyarakat sekitar pabrik dalam bentuk tingginya angka pengangguran.
Dampak krisis Malaise juga turut dirasakan dalam aspek sosial dan budaya. Banyak masyarakat yang terpaksa melepas harta benda dan aset mereka guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Selain itu, program-program pendidikan dan kesehatan masyarakat sekitar pabrik juga terhambat akibat keterbatasan alokasi dana.
Meskipun krisis ekonomi berdampak signifikan terhadap masyarakat Klaten, PG Gondang Winangoen berhasil pulih dan kembali berproduksi pada tahun 1936. Hal ini menunjukkan ketangguhan dan kemampuan manajerial dalam mengatasi krisis.
Seiring berjalannya waktu, pabrik gula terus berkembang dan berperan penting dalam perekonomian Indonesia. Dari sejarah yang dilalui, dapat dipetik pelajaran bahwa krisis ekonomi bukanlah hal yang menghentikan perjuangan dan semangat untuk terus tumbuh.
Foto-Foto Peninggalan Pabrik Gula Gondang Winangoen
Mesin Roda Gila Uap | Foto : Media Cirebon |
Tampungan Pemerasan Air Tebu | Foto : Media Cirebon |
Stasiun Tobong Gamping | Foto : Media Cirebon |
Abandoned House | Foto : Media Cirebon |
Mulut Pabrik | Foto : Media Cirebon |
Mesin Roda Raksaksa | Foto : Media Cirebon |
Ruangan Dalam Pabrik | Foto : Media Cirebon |
Mesin Penggilingan Tebu | Foto : Media Cirebon |
Gamping | Foto : Media Cirebon |
Makam Pendiri Pabrik (Petrus Jacobus) | Foto : Media Cirebon |