Cerita Legenda Dewi Sri, Sapi Gumarang dan Budug Basu
Cerita Legenda Dewi Sri | Foto : Media Cirebon 

Media Cirebon - Cerita legenda Dewi Sri sangat erat melekat dalam ingatan masyarakat Pulau Jawa, termasuk di wilayah Tatar Pasundan. Meskipun legenda ini memiliki aspek sejarah, namun terdapat pula unsur mitos yang tersisip di dalamnya. Naskah kuno berupa daun Lontar yang memuat cerita ini terdapat dalam Naskah "Wawacan Sulanjana" yang berhasil ditemukan di Majalengka, Jawa Barat. Naskah tersebut saat ini disimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.

Wawacan Sulanjana merupakan sebuah naskah kuno berbahasa Sunda yang memuat mitologi Sunda. Judul naskah ini memiliki makna "Kisah Sulanjana", sementara istilah "wawacan" merujuk pada "bacaan". Nama Sulanjana sendiri merujuk pada pahlawan utama yang berperan sebagai pelindung tanaman padi dari serangan Sapi Gumarang, babi hutan Kalabuat, dan Budug Basu yang melambangkan hama yang merusak tanaman padi. Wawacan Sulanjana berisi kearifan lokal mengenai tradisi menghormati tanaman padi dalam budaya masyarakat Sunda.

Namun, di bawah ini kami sampaikan sebuah versi lain mengenai kisah Dewi Sri.

Di tengah kehidupan masyarakat Purwagaluh yang bergantung pada hasil buruan sebagai sumber makanan, keadaan berubah menjadi sangat sulit ketika hutan tidak lagi menyediakan binatang yang dapat diburu.

Tanah menjadi kering dan tandus, sedangkan sungai-sungai tidak lagi memiliki aliran air yang cukup untuk mempertahankan kehidupan hewan dan tumbuhan. Wilayah Purwagaluh mengalami bencana kekeringan yang sangat parah.

Sadana, Adikara, dan Dewi Sri ditugaskan untuk mencari solusi bagi pembebasan warga dari kesulitan dan memperbaiki kehidupan masyarakat Purwagaluh secara keseluruhan. Namun, dalam perjalanan tugas pertama mereka, mereka telah menghadapi kesulitan yang berasal dari musuh bebuyutan mereka sejak kecil.

Untuk memenangkan hati Adikara, yang dicintainya sejak kecil, Nuridami melakukan segala cara yang ia anggap perlu, bahkan dengan memanfaatkan kesaktian dari neneknya, Nyi Ulo, serta kakaknya, Sapigumarang, dan Singasatru. 

Pada suatu pertempuran, Dewi Sri yang menyamar sebagai Camar Seta berhasil membunuh Singasatru yang pada saat itu memimpin kelompok Bajak Laut yang menyerang Pelabuhan Atasangin. Pelabuhan tersebut merupakan pusat kegiatan ekonomi dan kebudayaan dan juga tempat Dewi Sri, Sadana, dan Adikara mempelajari kemajuan yang kemudian diterapkan di Purwagaluh.

Sapigumarang merasa sangat marah ketika mengetahui bahwa adiknya, Singasatru, telah meninggal di Atasangin oleh tangan Camar Seta. Selanjutnya, ia segera mendatangi Sadana untuk membalas dendam pada Camar Seta. Namun, Nyi Ulo menghentikannya dengan alasan bahwa Singasatru, yang jauh lebih kuat, berhasil dikalahkan oleh Camar Seta.

Pada akhirnya, Sapigumarang bersedia berlatih secara khusus bersama Nyi Ulo untuk memperbaiki ilmu Lebursaketi-nya. Dari sinilah ia mulai menyadari sumber kekuatannya yang besar, yaitu kemarahan yang bisa memperkuat Lebursaketi hingga mampu menguasainya dengan sempurna.

Setelah itu, Sapigumarang segera mendatangi Sadana untuk membunuh Camar Seta, namun Sadana berpura-pura tidak mengenal Camar Seta. Sapigumarang tak percaya dan menyimpulkan bahwa Camar Seta sebenarnya adalah Adikara yang menggunakan nama samaran.

Setelah Sadana mencoba untuk membantu Camar Seta, ia malah dihajarnya hingga pingsan. Adikara kemudian dibawa pergi oleh Sapigumarang setelah tak berdaya. Nuridami berhasil merayu Sapigumarang agar tidak membunuh Adikara.

Dewi Sri merasa sangat sedih ketika mengetahui bahwa kekasihnya, Adikara, telah ditawan oleh Sapigumarang. Namun berkat ilmu kesaktian Malihwarni yang diajarkan oleh kakeknya, Aki Tirem, Dewi Sri mampu mengubah dirinya menjadi seekor harimau, namun akhirnya merasa sangat frustrasi dan memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri.

Setelah disulut oleh Budugbasu dan Kalabuat, Sapigumarang menjadi sangat marah dan kehilangan kendali saat dituduhkan bahwa Dewi Sri telah membunuh Nuridami karena cemburu. Ia langsung mempersiapkan diri untuk membunuh Dewi Sri dan merebut kendali atas Purwagaluh, wilayah yang telah makmur berkat kerja keras Dewi Sri, Sadana, dan Adikara dalam menciptakan lahan pertanian padi.

Pada saat Dewi Sri dan Adikara merayakan panen padi pertama bersama warga di Desa Cidamar, pasukan yang dipimpin oleh Budugbasu datang untuk merebut hasil panen dan menangkap Dewi Sri. Namun, berkat kesaktiannya, Dewi Sri berhasil mengalahkan Budugbasu dan seluruh pasukannya.

Sapigumarang tidak putus asa dan memilih Kalabuat untuk menggantikan posisi Budugbasu serta memimpin pasukan yang lebih besar. Kalabuat yang cerdik merencanakan serangan pada malam hari dengan pasukan penuh kekuatan. Saat itu Dewi Sri dan Adikara hanya berjaga-jaga bersama beberapa pemuda dan warga, karena banyak warga Cidamar yang tewas dalam perang melawan pasukan Budugbasu.

Setelah Kalabuat dan pasukannya mengepung sawah tempat Dewi Sri dan Adikara berjaga-jaga, keduanya melawan dengan sepenuh tenaga. Namun, Budugbasu yang sangat dendam juga datang dengan pasukannya karena ingin membunuh Dewi Sri dan Adikara secara langsung.

Dalam situasi yang sangat sulit itu, Kalabuat sempat meradang karena Budugbasu seharusnya hanya memimpin pasukan bantuan dan belum diizinkan keluar. Namun, Budugbasu tak menghiraukan perintah dan langsung menyerang Dewi Sri dengan tujuan membunuhnya.

Karena terdesak oleh pasukan yang semakin banyak, Dewi Sri dan Adikara menggunakan segala kemampuan dan kekuatan mereka untuk melawan. Pada akhirnya, Dewi Sri merubah dirinya menjadi ratusan kelelawar besar yang sangat buas dengan menggunakan ilmu Malihwarni.

Pasukan Kalabuat dan Budugbasu mengalami kekacauan ketika menghadapi serangan ratusan kelelawar, yang mengakibatkan kehancuran total dan kehilangan nyawa. Sedikit yang berhasil selamat, dan bahkan Kalabuat dan Budugbasu sendiri tidak luput dari serangan tersebut. Akhirnya, mereka melarikan diri dengan luka-luka yang parah pada wajah dan tubuh mereka.

Sapigumarang sangat marah mendengar berita bahwa Kalabuat dan Budugbasu kembali mengalami kekalahan dari Dewi Sri, terutama dengan fakta bahwa seluruh pasukan mereka telah tewas. Dalam kemarahannya, Sapigumarang memukul Kalabuat dan Budugbasu. Namun, Kalabuat membela dirinya dan menyalahkan Budugbasu yang membawa pasukan bantuan keluar, yang menyebabkan kematian seluruh pasukan mereka.

Budugbasu tidak ingin menyerah begitu saja, dan ia menyalahkan Kalabuat karena merencanakan serangan pada malam hari yang mengakibatkan mereka diserang oleh kelelawar ganas hasil dari sihir Dewi Sri.

Setelah mengetahui bahwa Dewi Sri telah memperoleh kekuatan sihir Sapigumarang, Sapigumarang segera meminta bantuan Nyi Ulo untuk melawan Dewi Sri. Namun, Dewi Sri dengan kecerdikan berhasil mengalahkan semua serangan sihir dari Nyi Ulo, bahkan mengakibatkan Nyi Ulo tewas akibat serangan baliknya.

Sapigumarang sangat marah dan menantang Dewi Sri untuk bertarung dengannya. Dewi Sri menerima tantangan tersebut dan memutuskan untuk bertarung dengan tangan kosong. Sapigumarang yakin bahwa kekuatan penuh Lebursaketinya akan mampu membunuh Dewi Sri. Namun, Dewi Sri sudah bersiap dengan ajian Sungsangbuana yang memungkinkannya untuk mengembalikan serangan dahsyat dari Lebursaketinya.

Sapigumarang akhirnya tewas akibat ajian Lebursaketinya sendiri. Setelah mengetahui kenyataan tersebut, Kalabuat dan Budugbasu merasa tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka kemudian menyerah ketika pasukan Sadana tiba-tiba muncul dan menangkap mereka.

Semua warga dan pasukan merayakan kemenangan Dewi Sri dengan gembira. Mereka semua memuji Dewi Sri dan memberinya gelar Dewi Padi karena jasa terbesarnya dalam menciptakan tanaman padi yang tumbuh di seluruh wilayah Purwagaluh.