Rumah Gadang dan Kemegahan Serta Kelatahan Yang Terjadi Terhadapnya
Rumah Gadang | Foto : Muhammad Syahwa

Media Cirebon - Indonesia adalah sebuah negara yang memiliki kemajemukan etnis, suku, bangsa, dan agama. Keberadaan berbagai etnis ini juga menjadikan indonesia yang kaya akan berbagai macam adat, tradisi, kesenian, serta budaya. Masing-masing etnis atau suku memiliki identitas masing-masing. Salah satu penanda atau identitas dari masing-masing etnis tersebut dengan adanya rumah adat masing-masing.

Sebagai salah satu etnis yang ada di negara Indonesia, etnis Minangkabau juga memiliki rumah adat yang dinamakan dengan rumah gadang. Rumah Gadang adalah nama untuk rumah adat Minangkabau yang merupakan rumah tradisional dan banyak jumpai di Sumatra Barat, Indonesia. Rumah ini juga disebut dengan nama lain oleh masyarakat setempat dengan nama Rumah Bagonjong atau ada juga yang menyebut dengan nama Rumah Baanjuang.

Sebagai rumah adat kebanggan Minangkabau, rumah Gadang memiliki kemegahan tersendiri. Bentuknya yang unik dan estetik, menghadirkan daya tarik tersendiri bagi para orang-orang luar yang memandangnya. Selain dari bentuknya, rumah gadang juga memiliki keunikan pada arsitektur dan proses pembuatannya. Sebagaimana rumah adat di daerah lain, rumah gadang dibuat tidak menggunakan paku sebagai perekat dan penyambung atau penyatu bagian perbagian kayunya. 

Tetapi lebih menggunakan sistem sekat, pasak, atau ‘pen’ yang disebut dengan rasuak dan punco. Disamping itu tiang-tiang penyangga rumah gadang, tidak ditanam atau dihujam ke tanah seperti pondasi pada rumah adat lain. namun diletakkan diatas sebuah batu yang disebut dengan sandi. Hal ini adalah sebuah antisipasi terhadap bencana gempa yang kemungkinan besar terjadi, sebab kawasan minangkabau adalah kawasan yang dikeliling oleh gunung berapi aktif. 

Menurut salah seorang peneliti luar negeri yang pernah datang ke minangkabau, ia menemukan sebuah fakta dan temuan yang unik terhadap rumah gadang. Yaitu penggunaan punco dan rasuak sebagai teknik penyambungan kayu-kayu yang membentuk rumah gadang. Yang mana hal itu akan memberikan ruang atau fleksibelitas bagi masing-masing bagian kayu untuk bergerak apabila terjadi goncangan gempa. Sehingga ruang dan kelonggaran itu menyebabkan bagian-bagian kayu tersebut tidak patah.

Secara keseluruhan, bentuk rumah gadang sendiri tidak simetris seperti rumah adat lain pada umumnya. Bentuk yang mengerucut dari bawah dan melebar ke atas, memberikan suatu kesan aneh bagi orang-orang yang tidak memahami secara spesifik fungsi dan tujuan bentuk itu. Padahal secara arsitektur, bentuk rumah gadang yang seperti itu berfungsi untuk menghambat gerak laju angin dengan membelokkannya ke bawah atau ke tanah.

Pada bagian atas rumah gadang, terdapat gonjong yang terdiri atas 5, 7, atau 9 sesuai dengan ukuran dan jenis rumah gadang tersebut. Gonjong yang berbentuk tanduk itu apabila dilihat memberikan keindahan. Namun tak jarang juga orang akan memberikan pemaknaan yang buruk terhadap bentuk gonjong tersebut. Seperti cemoohan untuk garetak samba atau berbgai bentuk cemoohan lainnya. Padahal secara arsitektur, fungsi dari gonjong tersebut adalah sebagai penyeimbang agar rumah gadang terlihat presisi dan juga kokoh. Seperti penari akrobatik yang meniti tali dalam permainan sirkus, ia akan membentangkan tangannya lebar-lebar sebagai penyeimbang. Begitu juga dengan gonjong rumah gadang yang terbentang lebar dan berfungsi sebagai penyeimbang.

Namun dibalik kemegahan yang ada di rumah gadang, juga terdapat kelatahan yang terjadi dan ditempatkan tidak sebagaimana mestinya. Banyak bangunan-bangunan atau benda-benda yang meniru bentuk dan atau sebagian dari bagian rumah gadang, yang entah apa maksud dan tujuannya. 

Banyak terdapat bangunan yang salah satu pengambilan dari rumah gadang, yaitu ‘gonjong’, yang dilekatkan pada bangunan tersebut. Seperti gapura, bangunan pasar yang mana terkadang di sana carut-marut dan kata-kata kotor bertebaran, kantor-kantor pemerintahan, atau bahkan kandang unggas dan hewan ternak pun juga menggunakan gonjong. Kelatahan yang tanpa landasan inilah yang semakin marak terjadi. Padahal, secara arsitektur asli sendiri dari rumah gadang, bahan untuk atap sendiri adalah menggunakan ijuk, bukan seng atau genteng. Tetapi banyak dijumpai bangunan-bangunan yang berbahan material batu dan tembok juga menggunakan gonjong. 
 
Kenapa hal ini mesti terjadi?. Untuk melambangkan identitas suatu etnik?. Lantas bagaimana dengan bangunan kantor suatu perusahaan yang menggunakan gonjong sedangkan pemilik perusahaan tersebut bukanlah orang asli etnis minang. Justru hal itu akan menjadi sebuah bumerang bagi kita apabila munculnya stigma-stigma negatif akibat kelatahan itu sendiri. Sedangkan rumah gadang adalah warisan budaya dari minangkabau yang memiliki nilai seni tinggi.

Jika yang menjadi landasan kelatahan penggunaan gonjong adalah untuk melambangkan kedudukan sebuah etnis, maka bisa jadi akan ada banyak bermunculan kelatahan-kelatahan baru yang dilakukan oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab. Seperti nantinya akan ada bangunan tempat hiburan yang menggunakan gonjong. Atau tempat pelacuran dan rumah bordil yang menggunakan gonjong. 

Dan mungkin juga akan diiringi dengan olok-olokan "tempat maksiat yang beradat". Bahkan sekarang sudah ada hotel-hotel yang menjadi tempat bersemayamnya kegiatan prostitusi yang bentuknya seperti rumah gadang dengan khas gonjongnya, dan bahkan membawa kata ‘minang’ sebagai nama hotel tersebut. Justru hal tersebut akan menjadi penghinaan dan mencoreng arang di kening namanya. Dan bukan tidak mungkin hal itu akan terjadi jika kelatahan ini masih terus berlanjut dan diwariskan tanpa diluruskan kepada generasi selanjutnya.

Maka dari itu, sebagai suatu warisan budaya asli minangkabau kita perlu memahami bagaimana falsafah dan nilai-nilai estetik serta etik yang terdapat pada rumah gadang. Perlu kita kaji lebih jauh bagaimana dan seberapa berharganya rumah gadang dan gonjongnya sebagai warisan budaya yang bernilai tinggi masyarakat etnis minangkabau.





Penulis: Muhammad Syahwa, Mahasiswa Jurusan Sastra Minangkabau FIB-UNAND. Anggota aktif LMJ. Bergiat di BBT dan Teater Langkah.

Editor : Dedi Natadiningrat